Rabu, 02 November 2016

Aktivis dikebiri akademis

Selamat pagi..... Menjelang siang...
Tiga tahun lebih aku berada di kampus, di Universitas Lampung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Ilmu Administrasi Negara. Pertengahan 2013 aku resmi menjadi mahasiswa, yang awalnya aku pahami, kuliah itu ya kuliah, di kelas dan di meja. Itu saja. Tapi semua persepsiku hangus ketika aku menjadi mahasiswa baru dan masuk dalam zona pengkaderan.
Ya. Bagi aktifis kampus, atau yang sering dieluhkan sebagai organisatoris, mahasiswa baru adalah aset berharga yang harus diolah secara hati - hati dan teliti. Ibarat kertas putih kosong tanpa tulisan, yang harus diisi dengan tulisan-tulisan bermakna dan berguna tentunya untuk kelanjutan organisasi kemahasiswaan.
Pada masa itu, tiga tahun yang lalu pengkaderan begitu kuat, saling sikut, terutama organisasi eksternal yang mencoba menyusup ke internal kampus dengan berbagai kepentingan yang tidak seharusnya dibawa ke dalam internal kampus. Ya. Lebih tepatnya politik praktis. Mahasiswa pada masa itu begitu kritis dan idealis, berani menentang pihak kampus, demi idealisme yang ideal, demi kehidupan kampus yang bersih dari kepentingan eksternal. Begitu kritis dan idealis tak terkikis oleh kerasnya tekanan akademis.
Masa pengkaderanku dulu begitu keras, hampir semi militer. Setiap hari senior ku masuk ke kelas, bagiku itu bentuk perhatian mereka, meskipun perhatian itu bukan dengan cara yang lemah lembut dan memanjakan, tetapi lebih kepada doktrin - doktrin kekeluargaan, kekompakan yang disampaikan dengan intonasi serta ritme yang beraturan. Terkadang tensi tinggi dan ada kalanya tensi rendah serta adakalanya hukuman seperti push up berantai pun menjadi makanan sehari - hari kami dalam masa pengkaderan.
Lain dulu lain sekarang. Koordinat seiring berjalanya waktu semakin berbalik menjauhi dunia aktifis. Mahasiswa yang katanya aktifis dan organisatoris itu kini dikekang dengan peraturan akademis. Tugas kuliah yang dibebankan membungkam mulut - mulut kritis dengan teoritis. Peraturan dekanat dengan larangan ini itu membatasi aktivitas organisasi kemahasiswaan . Sedikit membelot diancam administratif dan akademis, semua muanya harus ikut dan patuh dengan aturan dekanat, jika tidak, akan dianggap pembelot karena tidak mengikuti aturan kampus. Nyaris tidak ada toleransi, begitu saklek dan kaku. Apalagi dengan adanya pergantian dekan di FISIP, semuanya harus riil akademis, tanpa ada ruang untuk aktifis bersuara dan dan berkreasi. Aturanya ikut patuh atau membelot dan tak dianggap. Sayangnya aturan baru ini begitu menusuk hidung, layaknya kerbau. Aktifis dikebiri karakternya, pengkaderan hanya sebuah wacana. Mahasiswa kupu - kupu semakin lestari, mahasiswa akademis begitu alergi terhadap organisasi karena disibukkan dengan tugas kuliah.
Pengkaderan perlahan mati, mahasiswa baru sebagai aset seakan hilang arah. Tak tahu hakikat mahasiswa sebagai agen perubahan dan agen of control. Seperti SMA kelas 4, tak ubahnya seperti itu, hanya sekarang tanpa seragam putih abu - abu.
Pilihanya sekarang adalah berani mati merdeka atau hidup terjajah. Think - think again, jadi mahasiswa biasa atau mahasiswa ++. Itu pilihan dan selalu ada konsekuensinya. Hidup Mahasiswa!!!